I WILL LET U GO

Tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana suasana hati Doni pada saat ini. Begitupun dirinya sendiri. Ia bingung apa yang sedang berkecamuk dalam otak dan pikirannya. Ia memandang gadis manis yang ada di depannya. Ini sudah ketiga kalinya ia mambuat pipit menangis.....
Ia menarik napas dalam-dalam, berharap perbuatan tersebut dapat sedikit menenangkan pikirannya, setidaknya itulah yang ia ketahui.
Andai saja mambuat kesalahan pada Pipit sama dengan membuat kesalahan pada Rey atau Lisa, tapi Pipit berbeda, ia tidak seperti Rey yang akan dengan senang hati memaafkannya dengan mentraktirnya semangkok basko atau pada Lisa adik semata wayangnya yang hanya dengan memberi dia hadiah sebuah boneka akan mendapat pelukan hangat dan sebuah kecupan sayang.
Andai saja Pipit berbalik marah padanya itu akan membuat segalanya sedikit lebih baik, setidaknya gadis itu berbicara padanya, mengeluarkan semua hal yang ada dalam pikirannya. Bukan hanya diam seperti saat ini yang makin membuat Doni digerogoti perasaan bersalah. Ya Tuhan.... ia tak sanggup lagi melihat mata bening itu di banjiri air mata karena kesalahannya. Ini sangat tidak adil bagi Pipit, gadis itu telah berkorban banyak untuknnya, bahkan di tengah kesedihannya gadis itu selalu tersenyum untuknya.
Di saat gadis-gadis lain mengharap perhatian cowoknya, Pipit lebih banyak bersikap menerima bahwa dirinya tidak sanggup selalu berada di sampingnya saat ia membutuhkannya, di saat gadis-gadis lain marah karena cowoknya telat apel pada malam minggu, pipit justru mengerti dan tidak pernah memaksa dirinya untuk datang tiap malam minggu ke rumahnya. Dan di saat cowok-cowok lain bingung bagaimana caranya agar cewek mereka memaafkan kesalahan yang telah mereka lakukan, Pipit justru tidak pernah menuntut permintaan maaf tersebut, bahkan selalu menganggap Doni tidak pernah melakukan salah pada dirinya.
Doni menandaskan minumannya yang tinggal setengah dengan sekali sedotan, ia sudah tidak tahu lagi apakah ia masih pantas berada di sisi Pipit sementara hanya air mata dan kesedihan yang ia berikan sejak mereka merajut kasih selama 3 bulan ini.
Ia kembali memandang mata sembab di depannya, sudah tidak ada lagi yang ia dapat lakukan, pikirnya dalam hati sambil mengikuti pandangan mata Pipit yang memandang ke depan. Hati Doni kembali teriris begitu mengetahui apa yang sedang menyita perhatian gadis yang berada di depannya itu. sepasang muda mudi yang sedang asik berbagi es krim sambil berjalan menyusuri trotoar yang pada saat itu memang sedang lengang. Ia tahu pasti kenapa Pipit memperhatikan mereka. Sejak ia dan Pipit jadian tak satu kalipun ia mengajak Pipit berjalan-jalan dengan santai di jalan umum, bahkan kalau diingat-ingat setiap pertemuan yang ia lakukan dengan Pipit selalu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Pipit pasti memimpikan bisa berjalan dengan dirinya seperti pasangan tersebut, Memamerkan kemesraannya di depan tanpa peduli orang-orang di sekitar mereka, memikirkan hal itu Doni tau ia harus segera mengambil keputusan.
Ia jadi teringat hari di mana ia melihat pipit untuk pertama kalinya di kafe ini, hari dimana ia berkenalan dengan pemilik sepasang mata bening itu dan akhirnya mereka dekat. Tidak ada yang Doni sembunyikan dari Pipit. Bahkan rahasia sekecil apapun yang sempat juga membuat Pipit menjauhinya namun hanya sebentar karena toh kekauatan cinta mengalahkan segalanya. Ia masih tidak percaya hari dimana ia telah merelakan kehilangan Pipit dan berusaha untuk melupakannya merupakan titik balik hubungan mereka, karena sejak pengakuan tersebut Pipit semakin mengerti dirinya dan hampir tidak pernah memprotes apalagi marah apabila ia terlambat datang ke tempat biasanya mereka menghabiskan waktu bersama.
“”Sepertinya sudah tidak bisa dipertahankan ya?”
Suara Pipit akhirnya membuyarkan keheningan yang tercipta hampir satu jam di antara mereka.
Doni mengarahkan pandangannya lagi kepada Pipit setelah tadi sempat tersita oleh pemandangan di luar yang agak mendung dan sepertinya akan menurunkan titik-titik hujan yang sangat deras.
“Aku tidak tahu...”
Akhirnya Doni memberanikan diri mengakui pada ketololannya sendiri, yang hingga sampai saat ini tidak tahu akan di bawa kemana hubungan mereka ini. Ia sempat berpikir bahwa dirinya adalah laki-laki yang kejam yang menjebak Pipit pada suatu hubungan yang sejak awal ia sendiri tidak tau apakah dapat dipertahankan atau tidak.
“Bagaimana kabar Dewi??”
Pertanyaan Pipit menohok relung hati Doni yang paling dalam. Ia tidak mampu menangkap pesan yang ingin disampaikan Pipit dalam pertanyaan tersebut.
“Sejauh ini baik” Jawab Doni singkat. Berharap pipit tau bahwa jawaban singkat tersebut memberi isyarat bahwa ia ingin topik ini segera di akhiri. Ini bukan saatnya membicarakan masalah Dewi.
“Kapan-kapan sepertinya aku harus bertemu dengannnya”
“Demi tuhan Pipit...... ini bukan saatnya membicarakan masalah Dewi” suara Doni terdengar sangat putus asa. Masih ada yang lebih penting yakni kelanjutan hubungan mereka.
“Aku harus minta maaf karena telah lancang hadir di antara hubungan kalian” Pipit melanjutkan ucapannya tanpa memperhatikan bahwa Doni benar-benar ingin mengakhiri topik ini, gadis itu menunduk dalam-dalam berusaha menyembunyikan air mata yang kembali menggenangi matanya.
Doni menghela napas panjang, jika harus memilih antara Pipit dan Dewi Doni akan dengan sangat yakin memilih Pipit sebagai kekasihnya. Gadis manis ini selalu memberikan kenyamanan ketika ia berada di sampingnya, selalu hadir dengan tawa dan canda di antara kebosanannya menjalani aktifitas sehari-hari. Namun sekarang situasinya berbeda, ia tidak bisa lepas begitu saja dari Dewi karena hal itu sama saja dengan membeli tiket kematian untuk Dewi.
Kesunyian kembali tercipta di antara mereka. Hujan yang mulai mengguyur bumi sekan semakin membawa perasaan mereka pada perenungan hati yang terdalam.
Sebelum bertemu Pipit, Doni sudah bosan dengan hubungan yang sangat monoton dengan Dewi. Dewi yang selalu minta diperhatikan, dewi yang selalu banyak aturan dan setiap kemauannya harus selalu dituruti dan Dewi yang posesif banget. Ia sudah tidak tahan jika harus berhubungan dengan dewi, tapi memutuskan hubungan dengan dewi sama saja dengan membiarkan mamanya merasakan kekecewaaan yang mendalam. Karena bagaimanapun sang mama sudah menganggap Dewi sebagai sosok menantu yang sangat ideal.
Ketika melihat Pipit untuk pertama kalinya di kafe ini Doni begitu tertarik dengan senyum tulus Pipit dan tawa renyanya diantara canda dengan teman-temannya. Awalnya ia menganggap Pipit sebagai selingan di antara hubungan dirinya dan Dewi yang semakin membisankan. Tapi ia salah semakin ia mengenal pipit semakin banyak hal-hal baru yang ia temukan pada diri gadis itu yang makin membuat dirinya mencitainya.
Pipit hadir di saat ia membutuhkan seseorang untuk melepaskan semua beban yang selama ini ia simpan sendiri. Doni memaki dalam hati, jika mencari siapa yang patut di salahkan atas semua keruwetan ini, itu adalah dirinya sendiri. Ia tidak bisa menyalahkan waktu yang mempertemukan dirinya dengan Pipit, bahkan kalo boleh jujur ia harusnya berterima kasih karena sang waktu memberinya kesempatan untuk melihat warna-warni dunia dari sudut pandang yang berbeda yang selama ini ia kira hanya berwarna putih dan hitam. Ia juga tidak bisa menyalahkan keadaan yang berakhir seperti ini, karena dari awal ia tahu bahwa hubungan ini hanya akan melukai diri mereka berdua.
Ia yang terlalu egois, batin Doni. Kenapa ia harus menarik Pipit dalam pusaran arus yang membingungkan seperti ini. Ia tahu Pipit terlalu menyayanginya hingga mampu memaafkan semua kesalah-kesalahan yang ia perbuat selama ini.
Tapi tidak bisa seperti itu....
Ini harus segera berakhir
Dan ia tidak ingin melukai Pipit lebih dari ini karena mereka tak mungkin terus bersama.
“Maafkan aku pit....”
Akhirnya setelah lama diam dalam keheningan Doni membuka suara. Perkataan Doni tersebut terdengar sangat lirih namun mampu membuat pertahanan yang selama ini dibuat Pipit langsung bobol. Perkataan Doni barusan lebih mengarah pada keputusasaan mempertahankan hubungan mereka selama ini dan memilih untuk mengalah pada arus kehidupan. Permintamaafan karena sudah tidak sanggup lagi mempertahankan hubungan mereka.
Doni menggenggam tangan pipit di atas meja, terlalu erat seperti seorang anak kecil yang tak rela melepaskan maianannya yang akan direbut oleh temannya.
Pipit menatap ke arah Doni...
“Kamu udah gak sayang ama aku lagi ya?” Tanya Pipit.
Mendengar pertanyaan Pipit tersebut Doni makin mengeratkan genggaman tangannya, ada rasa sakit dalam hati begitu mendengar pertanyaa pipit itu. kenapa gadis ini berpikir seperti itu. Justru karena dirinya sangat menyayangi Pipit ia tidak bisa meneruskan hubungan ini. Ia tak sanggup melihat Pipit semakin terluka dengan keadaan ini.
“Kamu tau jawabannya sendiri pit”
“Tapi kenapa kamu gak mau mempertahankan hubungan ini...” Teriak Pipit histeris, membuat beberapa tamu melirik ke arah mereka dengan tatapan ingin tau.
Ia memberikan Pipit waktu sebentar untuk menenangkan pikirannya. Ia tahu ini sangat tak mudah bagi mereka untuk melewatinya.
“Karena aku tahu, hal ini hanya akan semakin membuatmu terluka...”
“Kamu gak adil don!”
“Pipit, please... kamu ngertiin posisi aku sekarang”
“Kamu yang harusnya ngertiin aku... selama ini apakah aku pernah minta sesuatu sama kamu don, gak pernah kan! Aku gak marah walaupun kamu selalu telat pada saat kita da janji, ato pada saat malam minggu kamu gak ke rumahku juga aku gak protes... karena kau tau kamu selalu mendahulukan Dewi di banding aku”
Doni tersenyum mendengar perkataan Pipit. Ini pertama kalinya ia mendengar Pipit mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya. Sedikit sesal dalam hati hanyalah kenapa gadis itu baru melakukannya sekarang di saat hubungan mereka sudah berada dalam gerbang perpisahan. Jika Pipit melakukannya sejak dulu ia tak mungkin meraba-raba apa yang sedang dipikirkannya dan apa yang berkecamuk dalam gadis yang sangat disayanginya itu.
Keheningan kembali menyapa mereka, entah untuk keberapa kalinya dalam kesempatan ini.
“Mungkin ini sudah nasib aku Don!” Ujar Pipit sambil menarik tangan yang sejak tadi berada dalam genggaman Doni, kemudian meremasnya seolah dengan melakukan hal itu akan membuat dirinya lebih kuat di hadapan Doni.
Doni masih terdiam, sadar bahwa sangat berat bagi Pipit mengucapkan kata-kata tersebut yang berarti menyerahkan nasib hubungan mereka pada kehendak nasib, sama seperti dirinya Pipit juga tidak menginginkan hal ini terjadi.
“Nasibku yang cuman sebagai kekasih gelap kamu”
“Tapi sejak kamu mengajak kenalan aku disini dan menceritakan semuanya tentang diri kamu, aku sebenarnya telah menetapkan pilihan. Sebuah pilihan yang aku tau mungkin akan sangat menyakitkan, bukan cuman buat kita berdua tapi juga buat Dewi jika suatu saat ia menyadari keberadaanku di antara kalian”
“Aku selalu sayang kamu Pit! Sampai kapanpun kamu akan menjadi burung Pipit kecil yang akan meramaikan hatiku dengan kicau merdumu, seberapa lama dan jauh kita nantinya akan berpisah”
Doni beranjak dari kursi... inilah saatnya. Batinnya dalam hati.
Dikecupnya kening Pipit untuk terakhir kalinya. Ia mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata yang dari tadi tidak mau berhenti dari mata bening itu. Berharap ia menyaksikan Pipit tersenyum dalam perpisahan ini.
“Suatu saat nanti kau akan menemukan seseorang yang hanya tercipta untukmu dan hanya mencintaimu”
Pipit berusaha tersenyum dalam galau hatinya. Menggenggam sebentar tangan Doni, tangan yang sebenarnya sangat berat untuk ia lepas. Untuk beberapa saat mereka berpandangan. Mulut mereka tidak berbicara tapi tatapan mata mereka sudah cukup mewakili ucapan-ucapan yang tidak keluar dari mulut mereka. Sebuah bahasa kalbu yang hanya mereka dan Tuhan pahami.
“Kalau kamu sudah melangkah keluar dari sini, jangan sekalipun kamu menoleh kebelakang. Karena jika kamu melakukan itu aku akan mengejar kamu sampai kemanapun. Gak peduli berapa orang yang harus tersakiti”
Doni mengangguk dan untuk terakhir kalinya memandang wajah Pipit, tersenyum sebelum kemudian meninggalkan tempat tersebut, seperti permintaan Pipit tanpa menoleh sedikitpun ke belakang, karena jika ia menoleh lagi ke belakang ia yakin tak kan sanggup melapaskan Pipit begitu saja.
Baru setelah berada di luar kafe ia kembali memandang ke arah Pipit. Gadis itu tidak menatap ke arah dirinya namun menunduk, menyembunyikan mukanya diantara kedua telapak tangannya, bahkan dari jarak sejauh ini pun Doni tau bahwa Gadis itu berusaha menyembunyikan isak tangsinya di antara derasnya suara hujan.
Doni melangkah menuju ke area parkir menerobos derasnya hujan dan memasuki mobilnya. Setelah menyetir agak jauh dari kafe ia menyalakan radio dan mendengarkan sebuah lagu yang sepertinya bisa mewakili dirinya saat ini.

Tak mungkin menyalahkan waktu
Tak mungkin menyalahkan keadaan
Kau datang di saat ku membutuhkanku
Dari masalah hidupku bersamanya
Semakin ku menyanyangimu
Semakin ku harus melepasmu dari hidupku
Tak ingin lukai hatimu lebih dari ini
Kita tak mungkin terus bersama.....
Suatu saat nanti kau kan dapatkan
seorang yang akan dampingi hidupmu
biarkan ini menjadi kenangan dua hati yang tak pernah menyatu
maafkan aku yang membiarkanmu masuk ke dalam hodupku ini
maafkan aku yang harus melepasmu walau ku tak ingin

0 komentar:

Posting Komentar